PERSPEKTIF ARKEOLOGIS DALAM REKONSTRUKSI KAJIAN SEJARAH ISLAM NUSANTARA; KRITIK ATAS BUKU ARKEOLOGI ISLAM NUSANTARA





PERSPEKTIF ARKEOLOGIS DALAM REKONSTRUKSI KAJIAN SEJARAH ISLAM NUSANTARA;
KRITIK ATAS BUKU ARKEOLOGI  ISLAM NUSANTARA
Makalah  disusun Guna Melengkapi Tugas Ujian Akhir  Semester (UAS)
Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam







Dosen pembimbing: Lukmanul Hakim, Ph. D
Oleh:
Achmad Hidayat, S.Th.I
Semester: DUA


PROGRAM STUDI ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2013











DAFTAR ISI

                 Daftar isi               
Kata Pengantar
I. Pendahuluan
A.                Pengertian Arkeologi
B.                 Kedudukan Arkeologi dalam Penulisan Sejarah Indonesia
II.    Critical Review Buku Arkeologi Islam Nusantara
Karya Dr. Uka Tjandrasasmita
A.                Identitas Buku
B.                 Uraian Ringkas Buku
C.                 Metodologi
D.                Aspek Substansi
E.                 Aspek Sumber
F.                  Apresiasi
G.                Penutup

DAFTAR PUSTAKA


















KATA PENGANTAR
Secara geografis Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, dan dua samudera: Hindia dan Pasifik yang terdiri dari 17.508 buah pulau. Hasil penelitian para etnolog dan penyelidikan arkeologis perpindahan penduduk terjadi pada 2000 tahun SM—bahkan ada yang menaksir jauh dari itu. Saat Islam masuk di kepulauan ini, boleh dikatakan masyarakat Indonesia terutama Sumatera-Jawa beragama Hindu. Pada umumnya masyarakat menganut paham Jawa Kuno: animisme dan dinamisme. Dalam kondisi inilah Islam masuk di Indonesia yang menyangkut berbagai teori. Ada beberapa teori yang masih debateable[1] tentang masuknya Islam di Indonesia ini, sejak kapan, oleh siapa, dari mana dan bagaimana proses yang berlangsung.
            Terkait dengan proses islamisasi di Nusantara telah dibuktikan dengan tinggalan kebendaan (arkeologis) yang berupa artefak, nisan makam, guci, gelas, masjid, menara, pelabuhan, kerajaan, dan lain-lain. Hal ini memperkuat tentang adanya Islamisasi di Nusantara yang dibawa oleh beberapa tokoh pedagang dari belahan dunia lain khsusunya wilayah Arab sebagai pusat lahirnya agama Islam. Bukti tersebut menjadi sebuah kekayaan tersendiri bagi masyarakat yang telah di-Islamkan oleh para pembawa ajaran Islam.
            Dalam tulisan kali ini, saya akan memaparkan sebuah metodologi arkeologi dalam studi Islam Nusantara dengan mereview sebuah buku Arkeologi Islam Nusantara karya Dr. Uka Tjandrasasmita yang berusaha  mengemukakan beberapa bukti arkeologis terkait dengan proses penyebaran Islam di Nusantara dalam aspek bukti benda. Adapun yang menjadi judul tulisan kali ini ialah “Pendekatan Arkeologi dalam Studi Islam Nusantara; Review Buku Arkeologi Islam Nusantara karya Dr. Uka Tjandrasasmita, sebagai bahan diskusi mata kuliah Pendekatan Studi Islam program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta.



I.          PENDAHULUAN
A.                Pengertian Arkeologi
Arkeologi, berasal dari bahasa Yunaniarchaeo yang berarti "kuna" danlogos, yang berarti "ilmu". Nama alternatif arkeologi adalah ilmu sejarah kebudayaan material. Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan (manusia) masa lalu melalui kajian sistematis atas data bendawi yang ditinggalkan. Kajian sistematis meliputi penemuan, dokumentasi, analisis, dan interpretasi data berupa artefak (budaya bendawi, seperti kapak batu dan bangunan candi) dan ekofak (benda lingkungan, seperti batuan, rupa muka bumi, dan fosil) maupun fitur (artefaktual yang tidak dapat dilepaskan dari tempatnya (situs arkeologi)). Teknik penelitian yang khas adalah penggalian (ekskavasi) arkeologis, meskipun survei juga mendapatkan porsi yang cukup besar.
Tujuan arkeologi beragam dan menjadi perdebatan yang panjang. Di antaranya adalah yang disebut dengan paradigma arkeologi, yaitu menyusun sejarahkebudayaan, memahami perilaku manusia, serta mengerti proses perubahan budaya. Karena bertujuan untuk memahami budaya manusia, maka ilmu ini termasuk ke dalam kelompok ilmu humaniora. Arkeologi pada masa sekarang merangkumi berbagai bidang yang berkait. Sebagai contoh, penemuan mayat yang dikubur akan menarik minat pakar dari berbagai bidang untuk mengkaji tentang pakaian dan jenis bahan digunakan, bentuk keramik dan cara penyebaran, kepercayaan melalui apa yang dikebumikan bersama mayat tersebut, pakar kimia yang mampu menentukan usia galian melalui cara seperti metoda pengukuran karbon 14. Sedangkan pakar genetik yang ingin mengetahui pergerakan perpindahan manusia purba, meneliti DNAnya.
Secara khusus, arkeologi mempelajari budaya masa silam, yang sudah berusia tua, baik pada masa prasejarah (sebelum dikenal tulisan), maupun pada masa sejarah (ketika terdapat bukti-bukti tertulis). Pada perkembangannya, arkeologi juga dapat mempelajari budaya masa kini, sebagaimana dipopulerkan dalam kajian budaya bendawi modern (modern material culture).[2]



B.        Kedudukan Arkeologi dalam Penulisan Sejarah Indonesia
Arkeologi merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah. Khusus untuk wilayah Indonesia, arkeologi sangat erat kaitannya dengan sejarah kuno atau sejarah masa awal.  Soekmono menjelaskan bahwa arkeologi sangat erat kaitannya dan menempati posisi pertama dalam kajian ancient history (sejarah kuno).[3]
Meskipun penelitian lapangan tidak bisa dipisahkan dari sejarah kuno, namun penelitian arkeologi lebih memiliki fokus pada pengungkapan sejarah kuno. Penelitian lapangan menunjukkan bahwa sejarah Indonesia masa prasejarah dan masa Hindhu Budha banyak menggunakan sumber arkeologis dari lapangan. Seperti yang dikatakan O.G.S Crawford bahwa arkeologi lebih fokus dan lebih banyak memberi informasi bagi pengungkapan sejarah kuno bila dibandingkan dengan sumber sejarah tertulis.[4]
Objek kajian arkeologi adalah benda-benda peninggalan kebudayaan masa lalu. Sumber yang digunakan untuk menulis sejarah zaman prasejarah semuanya adalah bukti arkeologis karena pada masanya belum ditemukan sumber tertulis. Pada periode sejarah kuno banyak ditemukan sumber arkeologi daripada sumber dokumen tertulis sebagai bukti penting kejayaan kebudayaan pada saat itu.
Penulisan sejarah Indonesia kuno masih terpisah-pisah. Masih banyak area kosong yang perlu ditulis. Kekosongan sejarah atau missing link history diisi dengan hipotesis untuk mengaitkan beberapa peristiwa yang masih belum lengkap informasi dan datanya. Hipotesis-hipotesis yang dibuat para ahli bisa dengan cepat berubah apabila telah ditemukan bukti-bukti sejarah yang tidak sesuai dengan hipotesis yang dibuat. Hal tersebut menghasilkan banyak tulisan dan literatur yang dibuat oleh para ahli. Namun, sumber-sumber tertulis tersebut belum cukup untuk menulis sejarah kuno secara lengkap. Di sisi lain, sejarah kuno Indonesia memiliki banyak peninggalan berupa bangunan, patung-patung, perkampungan, dan kepercayaan sebagai sumber tidak tertulis. Hal ini merupakan pencapain yang laur biasa bai sejarah kuno Indonesia sebagai hasil arsitektural masa lalu.[5]
Arkeologi Indonesia merupakan sumber material pendukung sejarah Indonesia yang lebih fokus pada sejarah kuno. Graham Clark menyatakan bahwa masih banyak celah yang bisa digali berkaitan dengan ketidaksempurnaan penulisan sejarah dengan memanfaatkan sumber material arkeologi. Penulisan sejarah Indonesia banyak menggunakan sumber inskripsi. Inskripsi tidak banyak memberikan informasi mengenai peristiwa sejarah kuno. Kerajaan tertua di Borneo timur dan Jawa Barat memiliki banyak inskripsi tetapi tidak menghasilkan sumber penulisan. Sedangkan bukti arkeologis yang berkaitan dengan dua kerajaan tersebut belum ditemukan. Ada dua inskripsi yang saling bersinggungan seperti inskripsi Erlangga yang dikenal dengan batu Kalkuta (1041 M). Meskipun hanya bersumber pada inskripsi,namun periode ini dapat ditulis sejarahnya dengan lengkap. Hal ini merupakan pengecualian. Secara umum, inskripsi tidak bisa berdiri sendiri bila dijadikan sebagai sumber sejarah.
Dalam usaha kita menulis sejarah Indonesia, informasi tertulis dari luar, seperti dari China banyak membantu dalam penulisan dan usaha rekonstruksi sejarah. Dengan mengkolaborasikan sumber China dan inskripsi yang ada, Goerge Coedes dapat menggambarkan sebuah kesimpulan bahwa kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan terbesar pada masanya dengan pusat pemerintahan di Palembang. Dengan memperhatikan keberadaan Sriwijaya, pendapat Coedes dapat diterima secara ilmiah. Namun, untuk lokasi banyak perbedaan pendapat. Para ahli sejarah memiliki interpretasi yang berbeda-beda dalam menerjemahkan sumber yang ada. Kendala bahasa juga menjadi salah satu faktornya. Sedikitnya sumber arkeologi yang berhubungan dengan Sriwijaya menimbulkan kendala tersendiri.
Selain inskripsi, ada sumber tertulis lain yang berupa literatur. Sama dengan inskripsi, literatur juga tidak bisa dijadikan sumber utama dalam penulisan sejarah. Hal ini terlihat dari Kerajaan  Kediri yang memiliki banyak literatur namun tidak banyak memberikan sumbangan pada historoigrafi. Tapi, Nagarakartagama sebagai hasil karya kerajaan Majapahit memiliki kasus yang berbeda. Kitab ini bisa menjelaskan sejarah kerajaan Singasari dan Majapahit dari awal abad tiga belas hingga pertengahan abad keempat belas. Dengan melakukan pengecekan data dengan kitab Pararaton, bukti lain yang berupa inskripsi dan candi memungkinkan Negarakartagama memuat rekonstruksi sejarah yang cukup lengkap. Usaha rekonstruksi sejarah dengan memanfaatkan bukti tertulis dilakukan oleh Berg yang berusaha memberikan interpretsi baru.
Arkeologi memiliki kontribusi yang positif terhadap penulisan sejarah Indonesia. Contoh menarik adalah adanya penemuan dua bangunan dalam Candi Kalasan yang sampai saat ini masih berdiri. Penemuan arkeologi ini berhasil mengungkap sejarah Jawa Tengah antara pertengahan abad ke-8 dan pertengahan abad ke-9. Jawa Tengah saat itu dikuasai oleh dua dinasti:dinasti sailendar di bagian selatan dan dinsati sanjaya yang beragama di bagain utara.[6]
Dari data yang ada dapat disimpulkan bahwa adanya sebuah penjelasan fakta bahwa di bagian utara Jawa Tengah telah ditemukan Candi Syiwa dan di bagian selatan telah ditemukan Candi Budha. Diasumsikan ketiga candi kalasan tersebut memiliki hubungan dengan Candi Dieng ataukah Candi Dieng dan Candi Kalasan adalah kedua hal yang berbeda karena memiliki seni arsitektur yang berbeda pula. Titik temu  antara keduanya ada di Candi Lara Jonggrang. Candi tersebut dibuat setelah kedua dinasti yang berkuasa disatukan dengan pernikahan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dengan Primowardani dari Dinasti Syailendra.
Arkeologimemungkinkan terjadinya perubahan historiografi sejarah. Seperti yang terjadi pada kasus Candi Lara Jonggrang, terjadi pergeseran kurun waktu yaitu dari abad ke-10 menjadi abad ke-9. Hal ini mengubah sejarah di jawa tengah. Perubahan ini dapat meluas dan berdampak pada penulisan sejarah. Setiap waktu, arkeologi berhasil menyumbangkan bukti baru. Pada pertengahan tahun 1960-an telah dilakukan ekskavasi arkeologis di komplek Candi Sewu dan berhasil mengungkapkan sebuah inskripsi dengan angka tahun 792 M  yang menyebutkan tentang perluasan komplek candi. Dari penemuan ini dapat diambil kesimpulan bahwa Candi Sewu ada sebelum tahun 792 M.
Pandangan yang serupa ada pada kasus sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, terutama di Jawa Timur.  Bukti tertua yang diketahui secara umum adalah makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 1082 M. Namun, ditemukan juga makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik yng berangka tahun 1419 M. Karena nilai dari bukti pertama masih diragukan maka diasumsikan bahwa persebaran Islam di Jawa di mulai sejak abad ke-15.






II.  CRITICAL REVIEW BUKU ARKEOLOGI ISLAM NUSANTARA
KARYA DR. UKA TJANDRASASMITA
A.                IDENTITAS BUKU
Buku ini berjudul Arkeologi Islam Nusantara, merupakan kumpulan tulisan Dr. Uka Tjandrasasmita[7] dan diedit oleh Tati Hartimah, Abdul Chair, Testriono, Olman Dahuri, dan Setyadi Sulaiman serta disunting oleh Diaz Salim.  Buku ini diterbitkan oleh Kelompok Penerbit Gramedia, bekerja sama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient (EFEO), dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Desember 2009 (Cetakan Pertama). Jumlah halaman: 370 termasuk daftar pustaka dan indeks, dan ukuran: 16 x 24 cm. Kata Sambutan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Sekapu Sirih oleh Prof. Dr. Edi Sedyawati, dan tentu saja Ucapan Terimakasih oleh penulis sendiri.[8]
B.                 URAIAN RINGKAS ISI BUKU
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Dr. Uka Tjandrasasmita yang tersebar dalam berbagai makalah simposium, seminar nasional dan internasional, antara lain di Malaysia, Brunei dan Belanda serta artikel jurnal/majalah, seperti Majalah  Komunika (LIPI), talkshow di berbagai daerah, Bandung, Bogor, Aceh, Palembang, Banten, Jawa Barat dan Jakarta   serta sejumlah buku bunga rampai yang diterbitkan antara tahun 1971 sampai 2009. Beberapa paper/makalah tersebut berbahasa Inggris, yaitu “The Coming and Spread of Islam in Malay: World Reflection on The Process of Islamization”. Seminar internasional tentang Islam civilization in The Malay World, Bandar Seri Begawan, 1-5 Juni 1989; Pengaruh Kedatangan Portugis bagi Kota Pelabuhan di Nusantara, judul asli: “The Indonesian Harbor Cities and The Coming of The Portuguese”, Depok, 9-11 Oktober 2000; Jaringan Perdagangan Arab Indonesia, “Arab Traders and Arab-Indonesia Historical Sources”, seminar internasional on Arab’s Legacy in Indonesia, Yemenis-Indonesian Mestizo Culture, Jakarta, 15-17 Desember 2003,  ketiga paper tersebut diterjemahkan oleh Olman Dahuri.[9] 
Buku ini tersusun atas 23 makalah/paper terpilih dari 200 lebih makalah nasional dan, internasional dan lokal yang secara umum berisi tentang penulisan sejarah sosial dengan menggunakan berbagai bahan, data dan bukti, khususnya arkeologi. Penulisnya, Dr. Uka Tjandrasasmita, merupakan seorang arkeolog produktif yang telah menulis lebih dari 20 buku sejak 1960 sampai akhir hayatnya di usia 80 tahun pada 2009. Menulis 37 artikel, 44 makalah dan paper internasional, dan 132 makalah/paper nasonal/laporan penelitian. Menunjukkan bahwa beliau memiliki kapasitas dalam hal penulisan sejarah Islam di nusantara dengan metode arkeologi.
Selain buku ini, Arkeologi Islam Nusantara, Dr. Uka juga telah menerbitkan beberapa buku terkait Islam nisantara, antara lain: “Jaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam Di Indonesia. Dalam Sejarah Nasional Indonesia III”, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bp Balai Pustaka, Jakarta,1993; “Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia”, PT. Menara Kudus, Jakarta, 2000; “Peneliian Arkeologi Islam di Indonesia Dari Masa ke Masa”, PT. Menara Kudus, Jakarta, 2000; dan  “Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia”, Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama R.I., Jakarta 2006.[10]
Buku ini disusun menjadi empat bagian, dan masing-masing bagian terdiri atas beberapa artikel. Keempat bagian buku dimaksud adalah: 1) ‘Arkeologi Islam dan Dinamika Kosmopilitanisme’, 2) ‘Arkeologi Islam dan Dinamika Lokal di Nusantara’, 3) ‘Arkeologi Islam dan Pernaskahan Nusantara’, dan 4) ‘Arkeologi Islam: Pembentukan dan Pewarisan Kebudayaan di Nusantara’ .
 Isi ringkas buku ini sebenarnya telah diramu oleh penulis sendiri dalam Ucapan Terimakasihnya pada lampiran awal (h. vii-viii), tetapi terasa terlalu ringkas. Untuk meringkaskan buku ini pun terdapat kesulitan karena sebagian tampaknya artikel berdiri sendiri-sendiri, misalnya pada bagian satu berjudul ‘Arkeologi Islam dan Dinamika Kosmopilitanisme’, tetapi satu artikel menyajikan  Kedatangan Islam di Nusantara:Refleksi Atas Proses Islamisasi yang harus disimpulkan tersendiri dengan artikel-artikel berikutnya yang antara lain berjudul Jalur Perdagangan Kerajaan Islam di Nusantara: Jaringan Regional-Internasional Abad ke-15 sampai 18 M yang juga harus ditarik kesimpulan tersendiri. Begitu pun pada bagian kedua dengan judul Arkeologi Islam dan Dinamika Lokal di Nusantara’ dengan menyajikan artikel-artikel, antara lain Melacak Jejak Arkeologis Banten, Rekonstruksi Sejarah Komunitas Sumedang di Tangerang, Sejarah Jakarta di Tinjau dari Perspektif Arkeologis, dan beberapa artikel lainnya yang masing-masing harus ditarik kesimpulan sendiri-sendiri. Demikian seterusnya pada bagian ketiga dan keempat dengan tren yang sama.
Oleh karena itu, untuk kasus buku ini, sebelum memberikan beberapa catatan, kami sajikan tema-tema setiap artikel pada masing-masing bagian.
Bagian pertama yang menyajikan ‘Arkeologi Islam dan Dinamika Kosmopilitanisme’, menyajikan  enam (6) artikel, yang menarik antara lain pada artikel (1) berjudul Kedatangan Islam di Nusantara:Refleksi Atas Proses Islamisasi. Artikel ini berisi bahwa kedatangan Islam pertama kali ke beberapa tempat tertentu di dunia Melayu diduga pada abad ke-7 atau awal abad ke-8 M hanya berdasarkan pada data historis yang terbatas, yaitu hikayat Tionghoa dan sejumlah catatan-catatan Arab dan Persia dan negeri-negeri lain di Timur Tengah, juga bukti berupa nisan-nisan kubur, ternyata pada abad 7 atau 8 dan abad-abad selanjutnya, para pedagang Muslim sudah berperan dalam jaringan perdagangan internasional melalui Selat Malaka.
Tampak Dr. Uka merapatkan diri pada barisan yang menolak teori klasik Snouck  Hurgronje yang manyatakan bahwa Islam masuk ke nusantara pada abad ke-13,[11] dan lebih meyakini laporan W.P. Groeneveldt  yang memberikan gambaran adanya jaringan perdagangan antara kerajaan di daerah-daerah nusantara (Sriwijaya dan negeri-negeri Asia Tenggara) dengan berbagai negeri terutama Tiongkok. Untuk meyakinkan teorinya, Dr. Uka membeberkan beberapa ahli sejarah lain yang berpendapat sama  sebagi sumber rujukannya, antara lain O.W. Wolters, J.C. van Leur, dan Rita Rose di Meglio serta Meiling Roelosfsz.[12] Sebuah kesimpulan dan sumber rujukan yang perlu dikritisi lebih lanjut.
Adapun penerima Islam adalah raja-raja, bangsawan, serta masyarakat secara keseluruhan. Tapi di antara mereka ada yang menjadi penyebar ajaran Islam ke beberapa tempat seperti wali songo, maulana, syekh, kiai atau ulama, dato dan sebagainya. Kepesatan Islamisasi dipercapat oleh dukungan dan seruan dari raja. Kedatangan dan penyebaran Islam dilakukan lewat berbagai saluran: perdagangan perkawinan, sistem birokrasi, lembaga pendidikan (pesantren), sufisme dan seni.[13]
Sebuah catatan penting bahwa Dr. Uka tidak dapat menentukan dengan pasti dari mana orang Muslim datang dan bersentuhan dengan wilayah-wilayah di Melayu untuk pertama kalinya. Ia berdalih hingga kini tidak ditemukan sumber historis otentik untuk menjelaskan masalah tersebut. Sikap ini menunjukkan bahwa beliau seorang ilmuan yang kuat dalam hal metodologis, di mana sumber rujukan secara historis harus valid dan tidak terjebak dengan penafsiran-penafsiran data sejarah sebagai mana yang dilakukan peneliti lain.[14]
Kemudian artikel (2) yang berjudul Jalur Perdagangan Kerajaan Islam Nusantara: Jaringan Regional-Internasional, berisi bahwa penerima Islam adalah raja-raja, bangsawan, serta masyarakat secara keseluruhan. Tapi di antara mereka ada yang menjadi penyebar ajaran Islam ke beberapa tempat seperti wali songo, maulana, syekh, kiai atau ulama, dato dan sebagainya. Kepesatan Islamisasi dipercapat oleh dukungan dan seruan dari raja. Kedatangan dan penyebaran Islam dilakukan lewat berbagai saluran: perdagangan perkawinan, sistem birokrasi, lembaga pendidikan (pesantren), sufisme dan seni.[15]
Kemudian artikel mengenai Jaringan Perdagangan Arab-India, mengulas berlangsungnya perdagangan Arab dengan Indonesia dari abad ke-7 hingga abad ke-16 atau 17 M ketika ekspansi politik Portugis dengan tiba-tiba mengakhiri hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Arab dan kesultanan-kesultanan Indonesia meskipun dengan data atau sumber historis dan arkeologis masih terbatas.
Para pedagang Arab sebelum abad ke-7 datang ke Ceylon untuk membeli berbagai komoditas, terutama sutera yang dibawa oleh kapal-kapal Tionghoa. Setelah itu, mereka ikut ambil bagian dalam perdagangan internasional dengan menggunakan Selat Malaka dan mengunjungi kawasan pantai di Asia Tenggara dan Cina Selatan.  Saad bin Abi Waqqas disebut-sebut sebagai orang yang membuta fondasi Masjid Canton yang sekarang dikenbal sebagai Masjid Wai Shin Zi yaitu masjid peringatan nabi. Kemudian setelah Saad bin Abi Waqqas kembali ke Arab setelah tinggal lama di Canton, Khalifah Usman mengirim dia kembali sebagai utusan ke kaisar Tionghoa. Namun demnikian dia tidak dapat kembali ke Arab untuk kedua kalinya dan akhirnya meninggal di Canton.[16]
Artikel Ekspedisi Tiongkok ke Nusantara dari sumber sejarah Hsin Tang Shu, yang menyebutkan adanya komunitas Ta-Shih (orang-orang Arab) di sekitar pantai Barat Sumatera yang diyakini datang bukan hanya pada abad ke-17 tetapi juga pada abad-abad sesudahnya. Terdapat juga keterangan hubungan dagang Arab dan Persia dengan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-18 dengan adanya dua surat yang dikirim kerajaan Sriwijaya kepada khalifah Bani Umayyah. Surat pertama diberikan oleh Al-Jahiz[17] dan berdasarkan cerita surat itu ditujukan kepada Khalifah Muawiyah. Sedangkan surat kedua dengan isi yang sama dijaga keamanannya oleh Ibn Abd Rabbih[18]. Surat tersebut dikirimkan maharaja Sriwijaya kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz[19] yang berisi hadiah sebagai tanda persahabatan.[20]   
Menurut Dr.Uka, perkembangan perdagangan orang Arab dan Persia dengan Asia Tenggara disebabkan perkembangan kota-kota pelabuhan di Timur-Tengah. Dengan munculnya Abbasid, Suhar, pusat paling penting di Oman dan teluk Persia. Masqat menjadi tempat penting di mana kapal memuat persediaan air tawar dan daging domba dengan tujuan India dan Tiongkok. Dengan Baghdad sebagai pusat perdagangan dan berkembang pula di sebelah Utara teluk seperti Basrah, Kufah, Wasit dan al-Ubulla. 
Aktivitas perdagangan di sepanjang Laut Merah dan Arabia Selatan menjadi lebih berkembang dan maju pesat. Kota Aden di Yaman,  menjadi gudang barang paling penting yang menghubungkan jalur melalui rute Mesir dan negeri Mediterania. Pusat perdagangan lain di sepanjang Laut Merah adalah Jeddah, Saudi Arabia yang para pedagangnya berangkat ke pelabuhan di Asia Tenggara dan Timur Jauh.   
Jaringan dagang dengan negara-negara Muslim Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Timur Jauh dari abad ke-7 sampai abad ke-12, menurut Uka mempunyai pengaruh besar bagi pertumbuhan Samudera Pasai sebagai kesultanan pertama di Indonesia dan Asia Tenggara sejak abad ke-13.[21] Argumen yang dikemukakan secara historis adanya pembuktian cerita local sejarah Melayu dan hikayat raja-raja Pasai serta bukti arkeologis adanya nama-nama sultan di Arab yang tertulis di batu-batu nisan mereka. Di antaranya batu nisan Sultan Malik al-Shalih sebagai sumber data arkeologis yang juga digunakan JP. Moquette untuk mendukung teori Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa awal kedatangan Islam di nusantara abad ke-13.
Artikel lain mengenai ekspedisi Tiongkok yang berjudul Kunjungan Laksamana Cheng Ho ke Palembang, dijelaskan adanya hubungan pelayaran dan perdagangan antarnegeri di wilayah Asia Tenggara, Asia Barat, India dan Tiongkok didorong oleh berkembangnya tiga kerajaan besar abad ke-7 M, yaitu Dinasti Tang di Tiongkok, Sriwijaya di Asia Tenggara, dan Bani Umayyah di Asia Barat (Timu-Tengah).
Hubungan khusus antara Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, baik dalam hal perdagangan maupun persahabatan, diberitakan dari sumber-sumber Tionghoa yang menyebutkan adanya hubungan antara Tiongkok dengan kerajaan di bagian Timur Sumatera yang disebut San-Bo-Tsai, suatu nama yang diidentifikasi sebagi Palembang.
Ekspedisi Tiongkok yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dilakukan sejak pemerintahan Dinasti Ming dibawah Kaisar Cheng-Tsu (1403-1424), setelah pendahulunya, Hwui-Ti, diusir dari tahtanya. Karena itu ekspedisi Laksamana Cheng Ho bertujuan untuk tetap meyakinkan kerajaan-kerajaan di wilayah Laut Selatan dan Barat yang semula mengakui kekaisaran Tiongkok dengan pengiriman upeti dan utusan ke Tiongkok.[22]
Tercatat dalam sejarah,  Laksamana Cheng Ho melakukan 7 kali ekspedisi. Ekspedisi pertama tahun 1405-1407, dimulai 11 Juli  1405 melawat ke San-Fo-Tsi (nama lain Sriwijaya, Palembang).  Pada ekspedisi kedua tahun 1407-1409 dari nama-nama negeri yang dilawat, Palembang tidak disebut. Begitu pun pada ekpedisi yang ketiga (1409-1411). Baru pada ekspedisi keempat tahun 1413-1415, Cheng Ho melawat ke Palembang setelah mengunjungi Campa, Kelantan, Pahang, Jawa, kemudia San-Fo-Si (Palembang), dan terus ke Malaka, Aru, Samudera, Lambri, Ceylon, Kayal, Kepulauan Maladewa, Cochin, Calicut dan Hormuz. Pada ekspedisi keempat inilah Cheng Ho didampingi Ma Huan, yang bertugas sebagai juru bicara, penerjemah dan pembuat laporan. Ma Huan, seorang Muslim juga menguasai bahasa Arab kembali mendampingi Cheng Ho Pada ekspedisi kelima tahun 1417-1419 yang  sempat melawat ke Palembang setelah Campa, Pahang, Jawa dan seterusnya. Sedangkan pada ekspedisi keenam dimana Ma Huan turut serta sebagai juru bicara, armada Cheng Ho tidak mengunjungi Palembang. Mengenai ekspedisi ketujuh (1431-1433) merupakan ekspedisi terbesar dengan melibatkan jumlah orang dalam armadanya dari berbagai pekerjaan meliputi 27.550 orang dan lebih dari 100 kapal besar yang salah satu tulisan Ma Huan tentang pelayarannya dan tentang Mekkah.[23]  
Kota Palembang sudah banyak didatangi orang-orang Tionghoa, baik karena hubungan perdagangan maupun hubungan persahabatan dengan Tiongkok berdasrkan prasasti-prasasti pada abad ke-7 M. Orang-orang Tionghoa yang datang ke San-Bo-Tsai atau Ku-Kang (nama-nama lain dari Palembang) antara lain berasal dari Kuang Tung, Chuang Chou, dan daratan Tiongkok Selatan, dua tempat yang sebagian penduduknya Muslim, seperti daerah sekitar Yunnan, tempat asal Cheng Ho dan Ma Huan yang sudah banyak memeluk Islam. Maka orang-orang Tionghoa yang datang dan kemudian bermukim di Palembang, sebagian merupakan komunitas Tionghoa-Muslim.
Komunitas Tionghoa-Muslim juga terdapat di pesisir utara Jawa Timur seperti Tuban, Sedayu dan Gresik yang dikunjungi Cheng Ho. Demikian pula adanya pemukiman komunitas Muslim di Semarang dan Cirebon berdasarkan sumber-sumber dari kelenteng Sam-Po-Kong Semarang dan Talang di Cirebon.[24]      
Selain terdapat komunitas Tionghoa-Muslim di Sriwijaya, juga terdapat orang-orang Muslim dari Arab dan Persia (Ta-Shih dan Po-Sse) sudah sampai di kota Palembang dan terjalin hubungan dengan kerajaan Samudera Pasai dan Malaka pada abad ke 13-16.
Palembang, dalam perkembangannya setelah menjadi kesultanan sejak abad ke-16 sampai abad ke-18 dan 19 M mengalami pasang surut. Para sultan akhirnya mengalami penjajahan oleh Hindia-Belanda.
Bagian ketiga buku ini mengulas pendekatan filologi dalam penelitian sejarah dan arkeologi. Disebutkan bahwa terdapat ribuan naskah dalam beragam bahasa lokal di Indonesia yang telah disimpan, dilindungi, dan didaftarkan oleh beberapa lembaga yang ditemukan di Indonesia dan negara lain. Pengetahuan tentang kumpulan naskah tersebut diinformasikan oleh beberapa katalog yang telah dihasilkan oleh filolog dari lembaga-lembaga terkait. Disebutkan juga beberapa sarjana yang mempelajari naskah-naskah Islam, di antaranya B.J.O Schrieke (1916) dalam karyanya Het Boek van Bonang, Drewes (1969) dalam The Admonitions of Syekh Bari, Johan Doorenbosch (1933) dalam De Geschriften van Hamzah Fansuri, Vitgegeven en Toegelichk dan P. Voorhoeve (1955) dalam Twee Malesche Geschriften van Noeroeddin ar-Raniri. Mereka adalah para sarjana asal Belanda.[25]  Sedangkan beberapa sarjana lain yang melakukan penelitian filologi juga disebutkan, antara lain Tujimah (1961), T.Iskandar (1965), A.Hasymi (1976).[26]
Contoh penulisan sejarah yang didasarkan pada manuskrip yang ditemukan di Indonesia dan Timur Tengah, telah dilakukan di antaranya oleh Azyumardi Azra dengan disertasi Ph.D-nya di Universitas Columbia, The Transmission of Islamic Reformation to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay Indonesian Ulama in the  Seventeenth and Eighteenth Centuries (1992) yang telah diterbitkan dalam bahsa Indonesia dengan judul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak akar-akar Pembaruan Islam di Indonesiia (1994).
Adapun objek-objek naskah Islam secara arkeologis adalah situs, artefak, dan fitur.  Dalam naskah-naskah yang berkaitan dengan kesejarahan seperti hikayat, babad, dan tambo, terdapat episode-episode yang menyebutkan beberpa jenis situs dari kegiatan perang, susuanan bangunan, kota-kota besar dan kecil, makam, keraton, benteng dan sebagainya, seperti di Banten dan Demak.
Kebanyakan naskah-naskah tua berisi episode-episode tentang artefak yang digunakan oleh komunitas atau masyarakat untuk kebutuhan sosial, ekonomi, agama, budaya dan politik. Misalnya dalam Babad Tanah Jawi disebutkan keris, tombak, gong, dan senjata-senjata lain untuk kebutuhan sehari-hari ataupun perang yang kemudian menjadi benda-benda pusaka warisan kerajaan. Dalam Babad Banten menyebutkan adanya meriam dan senapan sebagai senjata melawan kompeni Belanda. Dalam naskah-naskah lain mengenai Mataram, Aceh, Cirebon, Hitu, Bugis, Makasar, Kalimantan dan Maluku, ada beberapa episode menggambarkan jenis alat transportasi darat dan laut, seperti kapal, kapal raja, dan kapal-kapal dagang. [27]   
Sejarah pendirian Masjid Agung Demak sering dijumpai dalam beberapa naskah seperti Babad Tanah Jawi, Babad Demak, dan sebagainya. Cerita mengenai Masjid Agung Kasepuhan disebutkan dalam Babad Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari, dan sebaginya. Cerita tentang Masjid Raya Baiturrahman disebut dalam Hikayat Aceh, dan cerita dalam Masjid Agung Banten dalam Babad Banten.[28]     
Adapun bagian keempat, bagian terakhir buku ini mengurai pewarisan arkeologi nusantara, yang antara lain berbentuk bangunan ibadah, ragam seni hias, temasuk batik dan seni bangun, institusi pendidikan dan kebudayaan, serta naskah-naskah antara lain dari beberapa ulama-ulama dari Aceh, Hamzah Fansuri, Syams al-Din al-Sumatrani, Nur al-Din al-Raniri dan Abd al-Rauf al-Singkili yang sampai pada masa kini. Selain itu ditegaskan pula bahwa tulisan Jawi yang penggunaannya diperkirakan sejak awal abad ke-14 M mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk penulisan bahasa Melayu dalam berbagai aspek, yaitu keagamaan, kemasyarakatan, perekonomian, kesenian dan kebudayaan, teknologi korespondensi, hubungan diplomatik dan sebagainya.
Demikianlah deskripsi isi pokok buku ini yang membutuhkan data-data perbandingan penulis dan peneliti lain agar berkualitas nilai validitas dan akurasinya. Selain meyuguhkan pendapat dan teori peneliti asing (baca: Eropa), kita juga layak menengok kajian-kajian peneliti lokal yang bebas dari berbagai kepentingan politis.
Selain dilengkapi dengan sumber tulisan, yakni judul-judul asli artikel yang dimuat dalam buku ini lengkap dengan tanggal dan tempat presentasi penulis,juga terdapat daftar pustaka, profil penulis, dan diakhiri dengan deretan daftar karya tulis Dr. Uka Tjandrasasmita. Namun tidak terdapat indeks dalam buku ini yang sedikit mengurangi kesempurnaannya.
Buku ini juga disertai dengan berbagai ilustrasi seperti poto-poto arca, naskah perjanjian beberapa peta kuno, poto kuburan, mata uang, poto meriam, piring-piring keramik Tionghoa, dinding keraton  dan lain-lain (pada bagian halaman-halaman tertentu).
Melihat isi buku ini yang begitu padat, tentu banyak hal yang dapat diperoleh, terutama data-data yang berasal dari sumber asing. Akan tetapi, ada beberapa hal perlu ditinjau dan didiskusikan lebih lanjut terkait buku ini. Dalam makalah singkat ini, setidaknya ada tiga hal yang akan disoroti, yaitu: aspek metodologi, aspek substansi, dan aspek sumber rujukan yang digunakan penulis buku ini. Selain itu, akan disertakan pula apresiasi terhadap buku ini sebelum makalah ini ditutup.
C.                ASPEK METODOLOGI
Buku kumpulan tulisan ini dapat dikategorikan sebagai kumpulan hasil penelitian arkeologi sejarah. Penelitian arkeologi umumnya mengkaji benda-benda material tinggalan masa lalu. 
Sebenarnya bukan hal yang baru metode ini digunakan dalam historiografi Islam. Teori klasik Snouck Hurgronje tentang awal kedatangan Islam abad ke-13 pun sudah melakukan penelitian terhadap peninggalan kepurbakalaan, nisan, hikayat dan sebagainya.  Persoalan kemajuan iptek dan astronimi belakangan yang kemudian satu persatu berbagai situs kepurbakalaan ditemukan dan menggugurkan teori sebelumnya.
Sebagai sejarawan Indonesia spesialis arkeologi, Dr. Uka tentu saja menunjukkan keluasan ilmunya—gelar pujian menurut  Prof. Edi Setyadi dalam sekapur sirih buku ini—ternyata tidak hanya menggunakan data pokok arkeologi berupa benda-benda kepurbakalaan seperti artefak, melainkan juga menggali informasi dari berbagai manuskrip dan data tertulis lain dari masa lalu, baik catatan orang Asing dari Tiongkok, Arab, Portugis dan Belanda, maupun tinggalan tertulis dari orang-orang setempat dari berbagai daerah di Indonesia sendiri dalam prasasti, maupun hikayat, tambo dan babad dalam artikel-artikel tertentu, terutama pada bagian pertama.
Perlu diamati di sini bahwa para peneliti Indonesia pada umumnya, terutama di bidang sejarah Islam Nusantara banyak mengambil rujukan dari peneliti luar/asing dengan dalih minimnya literatur dan naskah tertulis para tokoh masa lalu. Persoalannya apakah benar demikian, ataukah ketidakmampuan para peneliti asing dalam menguasai bahasa lokal/daerah setempat yang mereka teliti. Jika peneliti asing tersebut beranggapan bahwa kisah-kisah kuno masyarakat lokal hanya sebatas legenda dan tidak bernilai historis, maka otentitas penelitian mereka patut dipertanyakan.
Dr. Uka sadar betul bahwa dalam proses pencarian dan pengumpulan data, seorang memerlukan pengetahuan atau sekurang-kurangnya mengerti apa yang di sebut arkeologi dan atau sejarah sehingga dapat menghadirkan sebuah rekonstruksi sejarah masa silam.[29] 
Sumber tinggalan arkeologis dapat berupa artefak, terutama yang bergerak dan tak bergerak disebut feature (fitur). Baik artefak maupun fitur ada yang mengandung tulisan dan ada juga yang tidak. Ada yang berasal dari masa prasejarah dan ada pula dari masa sejarah. Benda atau fitur seperti bangunan dari masa sejarah yang tidak mengandung tulisan pun, tetapi masuk dalam arkeologi-sejarah (historical archaeology), dalam mencari dan mengkajinya dapat menggunakan data tekstual seperti arsip, dokumen-dokumen, naskah-naskah kuno tentang hikayat[30], tambo[31], babad[32] bahkan dongeng atau legenda[33] karena terkadang tetap mengandung kebenaran atau kenyataan.[34]
Dalam hal ini Dr. Uka Tjandrasasmita menggunakan beberapa sumber tertulis lainnya, seperti naskah-naskah kutipan. Misalnya naskah wawancara Abdul Kadir Jaelani, dalam bahasa Sunda, koleksi Yapena, Bandung dalam hal. 283, atau naskah Melayu Taj al-Salatin,karya Bukhari al-Johori halaman 294. Selain itu juga melacak jejak pernaskahan, kearsipan, catatan-catatan harian dan berita-berita asing dari berbagai zaman.
 Dr. Uka mengurai teknis melacak jejak arkeologis di lapangan, misalnya dalam kasus arkeologi Banten,[35] dilakukan beberapa cara antara lain: Pertama, melalui pemberitaan orang, baik langsung atau tidak langsung, mengenai adanya temuan yang diduga tinggalan arkeologis. Kedua, melalui hasil kajian sumber literatur yang mungkin mengandung petunjuk adanya temuan atau pernah adanya temuan yang belum diteliti di lapangan tentang keadaan sebenarnya. Sumber tersebut dapat dicari dari arsip, dokumentasi, laporan, berita-berita asing, naskah-naskah kuno, seperti babad, hikayat, tambo, legenda, dan lainnya. Ketiga, berdasarkan petunjuk-petunjuk adanya tinggalan arkeologis yang dikenali dari sumber-sumber seperti di atas, kemudian melacak jejak arkeologis tersebut di lapangan.  Keempat, setelah jejak atau tinggalan arkeologis atau situsnya di lapangan benar-benar diyakini termasuk benda cagar budaya, maka perlu dilakukan langkah-langkah berikutnya, yakni inventarisasi dan dokumentasi tentang keberadaan ataupun kondisinya.
Kelima, setelah jejak arkeologis itu hendak dilakukan eksvakasi[36], pemugaran, konservasi, dan pengamanannya.[37]
Dari langkah-langkah tersebut tergambar bahwa kegiatan penelitian arkeologis tidak sedikit mengeluarkan biaya, atau dengan kata lain proyek penelitian tersebut akan menghabiskan dana yang besar. Dalam penelitian-penelitian dan bahkan hingga peberbitan buku, Dr. Uka mendapat support dari École française d'Extrême-Orient[38], "Sekolah Prancis untuk Timur Jauh", disingkat EFEO, adalah sebuah lembaga penelitian Prancis yang khusus ditujukan untuk penelitian kebudayaan di Asia.
Penting juga diuraikan di sini, bahwa peninggalan arkeologi Islam Nusantara lebih banyak diwarnai jenis peninggalan “ideofak”.[39] Persamaan, perbedaan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur artefak mencerminkan proses serupa dalam sistem ideologi dan keagamaan masyarakat. Beberapa contoh penemuan artefak yang ada di Indonesia, yaitu :
1)  Lokasi pemakaman dengan bentuk kuburan masa silam, seperti Makam Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Giri. Makam itu terletak di atas bukit, makam sultan-sultan Yogyakarta di Solo di Imogiri, makam Sunan Sendang di sendangduwur. Jika tempatnya paling atas, merupakan makam orang yang paling suci. Jika bentuk nisannya tinggi berundak, biasanya menunjukkan kedudukan atau status sosial yang tertinggi.
2)  Nisan Aceh yang ditemukan di daerah Malaysia, Johor dan Negeri Sembilan. Makam Ibrahim (w.822 M) dan Sultan Nahrisyah (w 1428 M) di Kuta Krueng, Samudera Pasai. Menunjukkan persamaan bentuk lukisan, cara penulisan dan bahan marmer seperti makam Muhammad Ibnu Umar al-Kazaruni (w 1333 M) di Gujarat.
3)  Penelitian mata uang di Samudera Pasai dan Aceh, dapat memberikan petunjuk bagi penguatan data penelitian sejarah kerajaan-kerajaan pada masa pemerintahannya, disamping menunjukkan kaitannya dalam penelitian ekonomi perdagangan kerajaan-kerajaan waktu itu.
4)  Temuan keramik  seperti yang terdapat di bekas ibu kota Kesultanan Banten, Aceh, Goa menunjukkan adanya sejarah perekonomian dengan Tiongkok, Thailand, Jepang, Eropa, timur Tengah, dan lainnya.
Pengungkapan sumber-sumber tersebut perlu diapresiasi sebagai kontribusi bagi rekonstruksi sejarah nasional dan nusantara, setidaknya untuk memperkaya data. Sayangnya, penulis tidak banyak membandingkan atau melengkapinya dengan sumber-sumber lokal atau sumber lainnya yang sezaman, misalnya surat-surat kesultanan Banten.
Cerita dari hikayat dan sejarah lama tentu memberikan informasi, tetapi harus diingat bahwa posisi sumber tersebut sama dengan sumber-sumber lain yang harus diverifikasi dan diuji kebenarannya berdasarkan metodologi sejarah yang disebut kritik sumber.[40] Tampaknya penulis sangat begitu yakin dengan sumber tersebut dan berusaha meyakinkan kepada pembaca bahwa sumber-sumber yang digunakannya tersebut meyakinkan. Akan tetapi, sebagai seorang ilmuwan yang diharuskan menjaga amanah ilmiyah (kejujuran intelektual), kritik sumber tersebut tetap wajib dilakukan, sebab tanpa kritik sumber, analisis lebih lanjut tidak dapat dilakukan. Artinya, dengan meminjam kaidah usul fikih, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib, bahwa kritik sumber adalah sesuatu yang wajib dilakukan jika ingin menyempurnakan penafsiran atas data yang dikandung sumber tersebut.
Persoalan lain dari aspek metodologi yang harus dikritisi dari buku ini adalah penggunaan teori sebagai kerangka analisis. Dalam hampir semua artikelnya, penulis tidak menjelaskan teori apa yang akan digunakan untuk menganalisis temuannya. Padahal begitu banyak teori yang dapat mempertajam penafsirannya atas data yang ia kemukakan. Teori sosiologi, misalnya hal ini tidak digunakan untuk mengkaji ekspedisi laksamana Cheng Ho, Belum lagi hermeneutika dan semiotika, misalnya mengapa Cheng Ho melakukan perjalanan tersebut  dan apa motivasinya. Mestinya, orang sekaliber Dr. Uka tidak meninggalkan hal-hal elementer tersebut. Oleh karena itu, tulisannya menjadi kering dan perlu dilengkapi dengan sumber-sumber lokal dan dianalisis dengan menggunakan teori yang relevan, sosiologi, antropologi, atau yang lainnya.
Jika melihat buku ini sebagai kumpulan karangan, buku ini dapat dibandingkan, setidaknya dengan Azyumardi Azra. buku Renaisan Islam Asia Tenggara yang merupakan kumpulan artikel karya Azyumardi Azra.[41] Keduanya bukan hanya sekedar menampilkan data-data yang ditafsirkan serampangan, tetapi dilengkapi pula dengan sumber-sumber lain yang kaya. Walaupun kedua penulis ini adalah putra asli Indonesia tetapi tidak serta merta hanya menggunakan sumber lokal, tetapi banyak pula menggunakan sumber asing.
Dalam hal metodologi, mengkombinasikan dengan inductive methode of reasoning a la Prof. DR. Muhammad Syed Naquib al-Attas pun dapat pula dipertimbangkan. Metode ini, bisa digunakan para pengkaji sejarah ketika sumber-sumber sejarah yang tersedia dalam jumlah yang sedikit atau sulit ditemukan, lebih khusus lagi sumber-sumber sejarah Islam dan penyebaran Islam di Nusantara memang kurang.
  1. ASPEK SUBSTANSI
Dari segi substansi yang disampaikan dalam buku ini, dalam beberapa artikel lebih banyak mengurai aspek metodologis, namun hasil penemuan baru tidak dibicarakan. Misalnya melacak jejak arkeologis Banten (110-119), penulis lebih banyak berbicara soal teknik peneltian dan mengurai hasil penelitian yang dilakukan peneliti lain. Seolah dia ingin mengatakan tidak ada yang baru dari temuannya. 
Namun berbeda dalam artikel mengenai kesultanan Cirebon, banyak hal baru yang terungkap karena banyaknya sumber yang digunakan baik asing maupun lokal. Antara lain adalah J. Nooduyn dan C.M Pleyte, serta Poerbatjaraka dan S. Ekajati tentang identitas kerajaan Pajajaran.
Catatan lain adalah tampaknya penulis belum mengelaborasi watak kolonial bangsa Eropa yang baru saja menginjakkan kakinya di bumi Nusantara dalam artikel pengaruh kedatangan Portugis bagi kota Pelabuhan di Nusantara. Sebagai refleksi bahwa setelah Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511, boleh dikatakan era kolonialisme di Nusantara dimulai. Sejak itulah bangsa-bangsa Eropa banyak berdatangan ke wilayah Nusantara, khususnya Indonesia, seperti VOC kemudian Belanda, Inggris, dan tentu Portugis. Berita-berita yang disampaikan oleh para pegawai kaum kolonial bisa dipastikan dibuat untuk merebut simpati dari para pembesar di negeri asalnya (halaman Oleh karena itu, informasi yang dapat dikatakan sepihak tersebut tidak dapat serta merta diterima bagitu saja. Data-data itu memang penting untuk diungkap tetapi bagaimana kita menyikapi data-data itulah yang lebih penting, antara lain dengan melakukan kritik sumber, intern maupun ekstern.
Dalam buku ini juga ada salah satu artikel yang minim sumber, yaitu tentang rekonstruksi Pulau Berhala (h. 177-180).  Artikel ini merupakan makalah seminar sejarah maritim Indonesia di Jakarta tahun 2002[42]. Di dalamnya lebih banyak berisi penafsiran penulis atas kondisi sosial keagamaan di wilayah kerajaan Jambi. Sumber artikel ini yang secara jelas disertakan adalah Undang-undang Negeri Jambi dan berita Portugis yang ditulis Tome Pires. (h.178).
Namun demikian, kita tetap harus memberikan apresiasi pada buku ini terutama karena menyajikan data-data baru. Secara umum, substansi yang disampaikan dalam buku ini sangat menarik dan untuk itu perlu dibahas dan didiskusikan lebih lanjut. Berita-berita asing tentang Nusantara sesungguhnya memperkaya wawasan dan sumber informasi untuk menggali sejarah leluluhur bangsa Indonesia.
Sejarah Nusantara yang bersumber dari berita asing tentu akan berbeda jika ditafsirkan oleh kita sendiri sebagai pemilik sejarah, dan kita tentu akan mencari lebih dalam kesesuaiannya dengan konteks situasi yang langsung dirasakan di lokus penelitian.
E.                 ASPEK SUMBER
Bukanlah hal aneh bahwa sumber penulisan sejarah Indonesia banyak tersimpan di Eropa, seperti Belanda, Inggris, Portugis, Perancis, dan lain-lain. Bahasa yang digunakannya juga tidak jarang ditemukan dalam bahasa-bahasa asing tersebut. Hal ini disebabkan karena bangsa-bangsa Eropa tersebut pernah menjajah, atau setidaknya membangun koloni-koloninya di Nusantara yang kaya raya akan sumber daya alamnya ini.
Dalam mengakses sumber-sumber asing, kendala bahasa merupakan hal yang dipandang paling menghambat dalam mengungkap isinya. Kendala lain adalah dalam hal mengakses sumber itu sendiri, peneliti pribumi terkadang perlu melakukan perjalanan jauh dan panjang untuk mendapatkan sumber-sumber asing tersebut. Setelah sumber itu ditemukan pun masih juga ada kendala, terutama apabila dokumen atau arsip yang ditemukan tersebut kondisinya sudah rusak dan sulit dibaca. Karena itulah, tidak mudah mempergunakan sumber asing untuk penulisan sejarah kita, apalagi jika kita ingin menulis sejarah kita secara utuh dan komprehensif.
Dalam hal pengungkapan informasi dari sumber asing, buku ini banyak memberikan data itu. Sebagaimana disebutkan di atas, buku ini begitu banyak menggunakan sumber asing, seperti surat perjanjian, arsip, dokumen, atau surat individu, dan lain-lain untuk menulis sejarah Islam Nusantara ini. Namun, sangat disayangkan, dari ratusan rujukan yang digunakan penulis, tidak lebih dari segelintir rujukan lokal yang ia gunakan. Hal ini tentu, dari satu sisi dapat mengurangi objektivitas, jika interpretasinya terpengaruhi oleh latar belakang penulis yang bukan orang Indonesia. Tetapi di sisi lain, sebenarnya, interpretasi tersebut akan menjadi objektif jika keberadaan penulis sebagai outsider dapat meminimalisir keberpihakannya pada jati dirinya sebagai orang asing.


F.                 APRESIASI
Sebelum menutup makalah ini, di luar yang telah disampaikan, kiranya kita tetap harus memberikan apresiasi. Data-data yang diungkapkan dalam buku ini memang banyak yang luput dari perhatian kita, terutama karena keterbatasan mengakses informsi tersebut.
Salah satu kekuatan buku ini adalah pada penggunaan pada berbagai macam sumber, hasil ekskavasi arkeologi yang banyak ditulis dalam bahasa Belanda, sumber-sumber local seperti babad, hikayat dan tambo, catatan perjalanan para pengembara asing, sejarah lisan, dokumen dan arsip colonial, observasi serta buku-buku dan berbagai dokumen lainnya.
Sebagai seorang ilmuan yang berwawasan luas, tulisan-tulisan Dr. Uka dalam buu ini seolah dirancang untuk menjadi suatu paparan sejarah yang mengalir sebagai suatu historiografi yang saling berketerkaitan dan tidak terpisahkan.
Didasarkan pada bukti-bukti arkeologis, penulisan sejarah Islam Indonesia memperoleh pondasi yang kuat untuk menjelaskan: masuknya Islam ke Nusantara, terbentuknya watak kosmopolitanisme dan dinamika lokal yang terjadi, sampai berlangsungnya proses akulturasi budaya. Diperkaya oleh khazanah naskah Nusantara yang kaya, arkeologi Islam menjadi suatu bidang alternatif untuk merekonstruksi sejarah umat Islam Indonesia.  Kendatipun arkelogi itu sendiri juga membutuhkan cabang ilmu lain yang serumpun dalam kajian sejarah pada umumnya sehingga dapat mengahasilkan integritas konsep yang komprehensif.    

G.                PENUTUP
Salah satu bidang di dalam ilmu-ilmu keislaman yang telah sekian lama berkembang adalah Sejarah Islam. Ilmu ini kemudian di sebut sejarah kebudayaan Islam dan juga Sejarah Peradaban Islam, dua istilah yang di perdebatkan oleh ahli sejarah hingga sekarang.
Laksana sumber mata air yang tak habis-habisnya ditimba orang, Sejarah Islam mengandung kadar pengetahuan yang senantiasa berguna bagi manusia kini maupun masa yang akan datang. Apalagi diera kontenporer, dimana modernitas dan teknologi berkembang secara dinamis, memotivasi untuk memperluas wawasan pengetahuannya, maka wacana keislaman dalamperspektif sejarah tak bisa diabaikan begitu saja.
Pada umumnya sejarah Islam lebih sering ditulis dengan bersandar pada bukti-bukti tertulis saja, sementara bukti-bukti arkeologis; artefak atau material cenderung terlupakan. Didasarkan pada bukti-bukti arkeologis, penulisan sejarah Islam Indonesia memperoleh pondasi yang kuat dalam mengkonfirmasi masuknya Islam ke Nusantara. Karena disitulah salah satu kekuatan buku Arkeologi Islam Nusantara ini.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arkeologi memiliki kedudukan penting dalam penulisan sejarah. arkeologi sebagai sumber primer lebih banyak memberikan informasi sejarah bila dibandingkan dengan sumber tertulis seperti inskripsi atau literatur.
Dalam kaitannya dengan historiografi sejarah Indonesia, arkeologi erat kaitannya dengan sejarah prasejarah dan sejarah masa kuno. Meskipun pada sejarah kuno telah ditemukan sumber tertulis, namun sumber-sumber tertulis tersebut tidak banyak memberikan informasi mengenai peristiwa sejarah yang terjadi. Sumber tetulis tidak bisa berdiri sendiri dan harus menggunakan sumber lain yaitu sumber arkeologis.
Selain sebagai sumber primer, penemuan-penemuan arkeologi yang selalu berkembang juga memungkinkan adanya rekonstruksi sejarah. bukti baru yang lebih kuat akan mengubah sejarah yang telah ada.
























DAFTAR PUSTAKA

al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Bandung: Mizan, 1990
Ambary, Hasan Mu’arif, Menemukan PeradabanJejak-Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Editor: Jajat Burhanuddin, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Azra, Azyumardi, Renaisan Islam Asia Tenggara, Editor: Idris Thaha, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000
F.N., Ridjaluddin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA dan Gaung Persada Press, 2013
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusasto, Jakarta: UI Press, 1985
Guillot, Claude dan Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Ecole francaise d’Exteme Orient, Forum Jakarta-Paris, 2008
Guillot, Claude, Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, Jakarta: KPG, 2008 Kraemer, Joel L., Renaisans Islam, terj. Asep Saefullah dari Humanism in the Renaissance of Islam, Bandung: Mizan, 2003
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Soedjatmoko, dkk.. An Introduction to Indonesian Historiography, London: Cornell University Press, 1975
Tjandrasasmita, Uka, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG, 2009
Tjandrasasmita, Uka, Samudera Pasai sebagai Pusat Penyebaran Islam ke Daerah Asia Tenggara, Jakarta: Depdikbud, 1993






                [1] Debateable terkait masuknya Islam di Indonesia ini dilatarbalakangi karena perbedaan penjelasan antara lain tentang makna  “masuk” tersebut. Yaitu apakah (1) dalam artian sentuhan: ada hubungan dan ada pemukiman Muslim, (2) dalam artian sudah berkembang adanya komunitas masyarakat Islam, atau (3) dalam artian sudah berdiri Islamic State (Negara/kerajaan Islam) http://sejarawan.wordpress.com/2008/01/21/proses-masuknya-islam-di-indonesia-nusantara/, access Selasa 10 Juli 2013 Pukul 22.35 wib.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Arkeologi, di unduh tanggal 13-12-2011 jam 15.30
[3] Soekmono menggambarkan bahwa ancient history adalah sejarah yang memiliki angka tahun tua, sejarah pada masa awal
[4] Soekmono “Archaeology and Indonesian History” dalam Soedjatmoko, dkk, ed, “ an Introduction to Indonesia Historiography”  (London:Cornell University Press, 1975), hlm.36
[5] Ibid, hlm.37
[6] Ibid, hlm.38-39
[7]Uka Tjandrasasmita ialah arkeolog pertama yang masuk ke dalam ranah arkeologi Islam. Ia berlatarbelakang arkeologi, menguasai bahasa penunjang, dan tajam menganalisa bukti sejarah. Pada dasawarsa 1980-an ia menjadi Direktur Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah Purbakala Ditjen Kebudayaan, dan banyak melakukan penelitian khususnya di situs-situs peninggalan Islam di Indonesia.
[8] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG, 2009), bagian cover sampul dan kata pengantar.
[9] Tulisan-tulisan lainnya dapat dikaji dari Sumber Tulisan pada lembaran akhir buku Arkeologi Islam Nusantara, h. 321-323.
[10] Dalam H. Uka Tjandrasasmita, Pengayaan Materi Pelajaran Sejarah Islam Di Indonesia:  Sejarah Perkembangan Islam Di Indonesia, Selasa, 18 September 2007 Di Gedung Serba Guna I. Pemda Kabupaten Bogor. https://www.google.com/#output=search&sclient=psy-ab&q=makalah-ssi--prof-uka&oq=makalah-ssi--prof-uka, access ahad, 14 Juli 2013, pk. 07:34

[11]Teori Snouck Hurgronje didasarkan pada hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dan daratan India yang selanjutnya dikenal dengan teori India. Ia menghubungkan dengan penyerangan dan pendudukan Baghdad oleh Raja Mongol , Hulagu, pada tahun 1258. Teorinnya diperkuat oleh J.P. Moquette berdasar temuan arkeologis nisan sultan Malik as-Shaleh yang mininggal 696 H/1297 M. lihat Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG, 2009, h. 13. Serta  pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa abad 12 atau 13. Lihat  Ridjaluddin F.N. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA dan Gaung Persada Press, 2013), h. 269
[12] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG, 2009), h. 38-39
[13] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid.,h.32-33
[14]Seperti penjelasan sebelumnya, Snouck Hurgronje mencetuskan teori India, peneliti lain adalah Sir John Craford dengan teori Arabnya, yang berlandaskan Muslim wilayah Melayu berpegang pada Madzhab Syafi’i dan teori Cina oleh Emmanuel Godinho de Eradie, dalam Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 191. Selain itu terdapat juga teori Persia berdasarkan kesamaan budaya dan serapan bahasa misalnya jabar berarti fathah berasal dari bahasa Iran,  zabar. Dan je er=kasroh dan pe es= dhommah. Hingga kini terutama wilayah Jawa Barat masih menggunakan isttilah tersebut. Ridjaluddin F.N., Sejarah Peradaban Islam,ibid., h. 269-270.    
[15] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid.,h. 37
[16]Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid., h. 72
[17] Amir Al-Bahr, 163-255H/753-869M
[18] 244-329H/860-940M
[19] 99-102H/717-720M
[20] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid., h. 73
[21] Uka Tjandrasamita, Arkeologi Islam…,ibid.,h. 75
[22] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid., h. 83
[23] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid., h. 85
[24] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid., h. 85
[25] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid., h. 193
[26] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid., h. 193
[27] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid., h. 203-207 lihat juga Uka Tjandrasasmita, Samudera Pasai sebagai Pusat Penyebaran Islam ke Daerah Asia Tenggara, Jakarta: Depdikbud, 1993, h. 328
[28]Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid., h. 209
[29]Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid., h. 110
[30] Hikayat, berasal dari India dan Arab, berisikan cerita kehidupan para dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta raja-raja yang memiliki kekuatan gaib. Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang, yang diceritakan dalam hikayat kadang tidak masuk akal. Namun dalam hikayat banyak mengambil tokoh-tokoh dalam sejarah. Contoh: Hikayat Hang Tuah, Kabayan, Si Pitung, Hikayat Si Miskin, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Sang Boma, Hikayat Panji Semirang, Hikayat Raja Budiman:http://www.wayankatel.com/2012/09/pengertian-ciriciri-bentuk-prosalama-prosabaru. html#sthash.TKDwjLPC.dpuf acces Ahad, 14 Juli 2013: pk. 14:25
[31] adalah salah satu bentuk prosa lama yang isi ceritanya diambil dari suatu peristiwa sejarah. Cerita yang diungkapkan dalam sejarah bisa dibuktikan dengan fakta. Selain berisikan peristiwa sejarah, juga berisikan silsilah raja-raja. Sejarah yang berisikan silsilah raja ini ditulis oleh para sastrawan masyarakat lama. Contoh: Sejarah Melayu karya datuk Bendahara Paduka Raja alias Tun Sri Lanang yang ditulis tahun 1612. - See more at: http://www.wayankatel.com/2012/09/pengertian-ciriciri-bentuk-prosalama-prosabaru.html#sthash.TKDwjLPC.dpuf.
[32]Kisah rekaan pujangga keraton yang sering dianggap sebagai peristiwa sejarah:  http://zhye.wordpress.com/2009/07/08/perbedaan-babad-hikayat-dan-suluk/ access Ahad, 14 Juli 2013: 14:45
[33] adalah cerita lama yang mengisahkan tentang riwayat terjadinya suatu tempat atau wilayah. Contoh: Legenda Banyuwangi, Tangkuban Perahu, dll.
[34]Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid., h. 110
[35]Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid., h. 110-119
[36]Dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti:  (1) penggalian yg dilakukan di tempat yg mengandung benda purbakala; (2) tempat penggalian benda purbakala: http://kamusbahasaindonesia.org/ekskavasi#ixzz2Z0LMf7GK, access Ahad, 14 Juli 2013, pk. 14: 59
[37] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam…,ibid., h.111
[38]EFEO didirikan tahun 1898 sebagai misi arkeologi di Indocina. Saat itu kantor pusatnya di Saigon, Vietnam Selatan, di mana didirikan Museum Louis Finot untuk menampun sebagian benda yang dikumpulkan selama sejumlah misi arkeologi. EFEO menjalankan sejumlah galian arkeologi dan pemugaran banyak bangunan, terutama di Angkor diKamboja. Tahun 1900 lembaga ini mendapat tempat tetap di Hanoi, Vietnam Utara. Mulai tahun 1907, EFEO bertugas melestarikan Angkor. Setelah Indocina Prancis menjadi merdeka, kantor pusat dipindahkan ke Paris. Sejak itu, EFEO sudah menanadatangani sejumlah kesepakatan dengan berbagai negara Asia yang menjadi ladang penelitiannya demi mempertahankan kantor di Asia. Pada awalnya EFEO bergerak di bidang arkeologi, sejarah dan bahasa Asia. Sekarang ladang penelitiannya juga mencakup etnologi. http://id.wikipedia.org/wiki/%C3%89cole_fran%C3%A7aise_d'Extr%C3%AAme-Orient. access Ahad, 14 Juli 2013, pk: 15: 19
[39]  Ideofak adalah hasil kebudayaan manuasia yang menjadi cita–cita luhur suatu  masyarakat yang dengan cita – cita itu mendorong masyarakat untuk mencapainya dan mengilhami cara-cara dalam mencapai tujuan atau cita–cita tersebut (way of  life), sumber http://yo-tee.blogspot.com/2011/10/ access Ahad, 14 Juli 2013, pk. 11:49 
[40] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusasto, (Jakarta: UI Press, 1985), khususnya Bab VI tentang ”Masalah Otentisitas dan Kritik Eksternal” (h. 80-94), dan Bab VII tentang ”Masalah Kredibilitas dan Kritik Intern” (h. 95-117)
[41] Azyumardi Azra, Renaisan Islam Asia Tenggara, Editor: Idris Thaha (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)
[42] Sebagaimana disebutkan dalam Sumber Tulisan pada bagian-bagian akhir buku hal. 322
Previous
Next Post »