Beda Buruh, Beda Guru



Mayday..mayday..

Hari itu, 1 mei 2016, saya berpapasan dengan sekumpulan ratusan demonstran buruh beroda dua menuju Monas dengan berlawanan arah.
Terpaksa harus menepi atau bila tidak, tergeruslah oleh mereka di lajur yang salah. Rupanya, melanggar arus lalu lintas, bila sedang demo berarti tidak mengapa.

Hari itu, 1 Mei 2016,
Mereka kembali turun ke jalan
Menyuarakan nasib mereka tanpa basa-basi.
Meminta kenaikan upah dan tunjangan hidup yang layak dengan berorasi.
Sesaat setelah demo, biasanya nanti malam ada pembahasan dan proses negosiasi.
Dibuatlah rancangan keputusan gubernur ataupun keputusan menteri.

"Mereka sungguh layak dibela!"

Dengan HP setara Samsung seri S, rokok merk berkelas, dan makanan khas cafetaria.
Tersenyum lebar merekah, menyiapkan kendaraan sport kebanggaan, meninggalkan pabrik dan layanan publik,
Merencanakan aksi serupa untuk tahun-tahun berikutnya. Rindu akan bau hangus ban bekas yang dibakar di jalan raya...

Beda buruh, beda guru!
Bagaimana dengan nasib guru?
Apa kabar?
Bukankah mereka juga (katanya) tenaga profesional yang harus dibela?
Jangankan membela, bertanya kabar saja tidak!

Guru ditanya keberadaannya, agar bangku stadion tidak kosong, sekedar membuat semarak suasana.
Selanjutnya pidato pejabat itu...entah dia berkata apa!

Bukankah mereka bekerja begitu berat!

Tak sampai hati meninggalkan peserta didik di kelas walaupun sekedar semenit!

Tak ada waktu ngerumpi di cafe, gonta-ganti merk di konter HP, apalagi nongkrong di mal dan supermarket. Bila ketahuan, ancaman PHK dari instansi dan departemen terkait.

Waktu mereka  bersama anak dan isteri tdk lebih banyak ketimbang menghabiskan 8 jam sehari bersama peserta didik.

Uji kompetensi dan kuliah lagi ke jenjang yang lebih tinggi demi meng-upgrade skill dan wawasan profesi...

Menulis laporan serba digital dan beraplikasi.
Tak pandang bulu berapa tebal silinder kacamata, ataupun usia renta yang mereka miliki.

Melampirkan bukti kompetensi pengembangan diri, foto kopi pelatihan2 yang pernah diikuti.
Jika tak ada, kredit poin tak dimiliki dan berhak meraih nilai dibawah standar dengan ancaman mutasi.

Sudah disibukkan dengan berkas, namun tengoklah beratnya obsesi dan tugas:

Membentuk nilai dan menanamkan Akhlak, Budi pekerti, adab dan sopan santun sehingga:

Melahirkan generasi birokrat sejati, seperti Hatta dan M. Natsir yang anti korupsi.
Melahirkan generasi teknokrat sejati, seperti BJ. Habibie yang bangga dengan produk dalam negeri.
Melahirkan generasi cendikiawan sejati, seperti Hamka yang luwes dan berwibawa tinggi.
Melahirkan generasi pejuang sejati seperti Jendral Sudirman yang semangatnya tak pernah padam.

Mencetak generasi santri berwawasan intelektual atau sebaliknya,
Mencetak generasi intelektual yang berjiwa santri yang tidak liberal.

Mencegah mereka turun ke jalan dgn tongkat dan perisai untuk tawuran. Meniru aksi kura-kura ninja dan Batman.

Namun...
Siapa yang peduli dengan nasib mereka?

Ooh..Pahlawan tanpa tanda jasa...

Ketika berdemonstrasi dinilai melecehkan profesi,
Ketika menuntut kenaikan gaji dianggap menodai harga diri...

Adakah yang lebih berat dengan amanah ini:

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah:

"Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan?

Sekarang beri tahu saya, Siapakah pahlawan sejati itu hari ini?

2 Mei 2016
÷÷÷÷÷
Salam ta'zim dan takrim teruntuk bapak/ibu guru tercinta. Jasamu sungguh tiada tara...
Selamat hari pendidikan nasional!

Wallahu a'lam

Previous
Next Post »